THE FAMILY

 


 



T H E  F A M I L Y 

.
.
.


7 -  Maximillian Dimitrov


“He did not care if she was heartless, vicious and vulgar, stupid and grasping, he loved her. He would rather have misery with one than happiness with the other.”
― W. Somerset Maugham


.....

Jalanan sektor 31 di malam hari tampak lebih hidup dibanding sektor lain di kota ini.
City's Paradise. Sebutan untuk sektor yang menjadi jantung hiburan di kota ini.

Arcade, bar, cafe, sebut apa saja, semuanya ada disini.

Sebuah tempat yang bagus untuk melepas penat di akhir minggu.

The Red Candy. Bar terbesar di Sektor ini. Salah satu bar yang cukup ramai di akhir pekan.

Dari luar tampak seperti tempat hiburan biasa, banyak orang berlalu lalang di depan pintu masuk, beberapa pria berjaga di sekitar.

Tak ada yang aneh di mata orang awam.

"Selamat datang, Nona..." dua pria berbadan kekar dengan setelan jas hitam klasik membungkuk dan membukakan sebuah pintu.

Pintu berwarna cokelat tua itu berada di sisi yang berbeda dari pintu masuk utama. 

Akses yang hanya bisa dilalui segelintir orang saja.

"Saya Michelle yang akan melayani anda malam ini, Nona.." seorang wanita cantik berambut brunette menyapanya ramah. sebuah tatto di lehernya yang mengalirkan aroma mawar yang pekat.

Michelle namanya. Barmaids khusus untuk tamu-tamu eksklusif.

"Bring me the usual.." Michelle membungkuk seraya menerima coat panjang dari tamu yang ia panggil Nona.

Keduanya berjalan melewati lorong yang dipenuhi lampu neon merah. Sepanjang jalan, beberapa Guard akan membungkuk ke arah mereka. Tepatnya, ke arah Nona tadi.

"Saya akan membawakan menu anda, Nona Anne..." Michelle tersenyum pada Nona yang tak lain adalah Anne sendiri.

Perempuan mungil itu menatapnya tanpa ekspresi dan mengangguk, memerintah Michelle segera pergi dengan tugasnya.

Anne yang mengenakan setelan jas biru, mengedarkan kepalanya hingga pandangannya berhenti pada seseorang di depan meja bar.

"Here," Anne melemparkan sesuatu dari kantong jasnya sebelum ia mendudukkan dirinya di kursi bar.

Dengan cekatan, lemparan tadi mendarat tepat di tangan seseorang. Sebuah kotak kecil berwarna hitam.

"It's been a long time," pria muda yang menggenggam kotak tadi menoleh. 

"Yo, Anne!" wajahnya yang tampan tampak cerah sepersekian detik setelah pandangannya mengenali Anne disisinya.

"Apa kabarmu, Max?" Pria itu tersenyum.

Maximillian Dimitrov. Pria bersurai ash-blonde dengan model undercut rapi. Jas hitam dipadu kemeja berwarna senada tampak indah membalut tubuhnya yang berotot. 
Iris biru keabuannya mengikuti setiap gerak Anne hingga gadis itu duduk dan menunggu minumannya.

"Kau tidak berubah sama sekali ya? kapan terakhir kali aku bertemu denganmu? lima tahun? tujuh tahun?" Anne menyeringai kecil menanggapi pertanyaan Max.

"Tujuh tahun sejak terakhir kali misi kita bersama..." Max mengangguk, tangannya meraih gelas berisi Martini di depannya. Minuman campuran Gin dan Vermounth, campuran yang cukup membuat siapapun mabuk dalam beberapa tegukan karena kadar alkohol yang lumayan tinggi.

Butiran air dari es batu yang meleleh di dinding gelas mengindikasikan minuman itu belum lama disajikan. Wajah Max masih sumringah dan matanya masih bisa menatap Anne dengan fokus. 

Toleransi alkohol yang luar biasa. Pikirnya.

"Aku senang saat kau tiba-tiba menghubungiku lagi, kau tahu?" obrolan mereka terhenti saat Michelle datang membawa pesanan Anne. 

Sebuah gelas kecil dengan tiga kubik es batu di dalamnya. Minuman berwarna merah dengan kulit jeruk sebagai garnish diatasnya.

Negroni. Tampak seperti minuman biasa tapi minuman ini punya kadar alkohol yang tak main-main dengan campuran tiga alkohol sebagai bahannya. Gin, Campari, dan Vermounth.

"Selamat menikmati, Nona..." Michelle membungkuk dan berjalan pergi. 

"Perempuan itu masih menyapamu dengan hormat yang sama. Heh, ini menarik bagaimana saat dia pertama kali bertemu denganmu dan dia yang sekarang," Max tertawa remeh.

The Red Candy tampak seperti bar mewah biasa. Dan Anne tampak seperti tamu VIP lainnya.

Itu jika kau melihatnya dari mata pengunjung biasa.

Nyatanya, dibawah dress Michelle, tepatnya di bagian pahanya, perempuan itu menyimpan sebilah belati. Terikat ketat, tersembunyi dengan rapi setiap kali ia berjalan.

Wanita-wanita pelayan lain di bar ini memiliki hal yang sama. Belati. pistol, taser, tersembunyi baik di paha atau bagian tubuh lainnya.

Bahkan bartender yang bekerja dengan tenang mengelap gelas di hadapan mereka. Menyimpan sebuah senapan panjang jenis Assault Rifle tipe 89 dibalik deretan minuman beralkohol di depannya.

Bar ini bukan bar mewah biasa. Bar ini adalah sarang lain milik Anne.

Tidak seperti bar organisasi yang dikelola Rin. Bar ini sepenuhnya milik Anne dan semua staff-nya mahir dalam sesuatu.

Mulai dari membunuh dengan tenang atau melakukan pembunuhan masal.

"Kau beri daging pada seekor anjing kelaparan, mereka akan menurutimu selamanya.." Anne menyesap minumannya, memandangi es batu yang perlahan mencair. "... tapi untuk membuat anjing tetap loyal, kau harus menunjukkan siapa penguasanya.." 

Michelle adalah satu dari sekian gadis yang diselamatkan Anne dari perdagangan manusia saat usianya 17 tahun. Korban pertamanya adalah pria gemuk yang membelinya sebagai prostitusi. Ia memotong penis pria itu dengan pisau yang diberi Anne padanya. 

Membiarkan pria itu mati karena pendarahan hebat dan membuat polisi kebingungan.

Seorang pria ditemukan tewas dengan penis yang hilang. Sampai sekarang tak diketahui siapa pelakunya.

Karena Anne menginginkan kasus itu tak pernah terbongkar, maka kasus itu tak akan pernah terbongkar.

Staff di bar ini bukan anggota masyarakat biasa. Sebagian besar dari mereka adalah manusia-manusia yang bahkan jika mereka menghilang dari bumi ini, tak akan ada yang tahu.

Mereka adalah manusia-manusia yang bahkan tak ada harganya di manusia lain.

Itu yang mereka pikir, tapi tidak bagi Anne.

Bagi gadis itu, semua hal itu berharg. Bahkan sampah di pinggir jalan.

"Menurutmu apa kekuatan terbesar yang bisa merubah seseorang? cinta? kekayaan? popularitas? bukan. Tapi benci..." Max mengulangi kalimat yang diucapkan Anne tujuh tahun yang lalu. Kalimat yang diucapkannya saat ia bertanya apa alasan Anne menerima manusia-manusia kelabu ini.

"Manusia butuh alasan untuk tetap hidup. Meski itu hanya sekedar untuk balas dendam. Dan akar dari balas dendam itu adalah kebencian. Saat mereka tak lagi merasakan kebencian, mereka akan dihadapkan dengan rasa sakit," Max tersenyum mendengar penjelasan Anne. Senyum yang sama yang ia tunjukkan pada gadis yang selalu membuatnya kagum.

"Ah shit, you always know how to get me hard.." Anne tak bergeming. Membiarkan Max sibuk dengan sesuatu yang ia miliki diantara kedua kakinya.

Max meraih kotak kecil yang dilempar Anne padanya tadi. sekotak rokok dengan kemasan klasik dan mewah. Treasurer Black.

"Heh, Rokok ini mengigatkanku pada misi kita di Colorado.." Max menarik satu batang dan menyalakannya. 

"Kau bisa cepat mati kalau kau terus merokok, kau tahu?"

"Heheh, kau lucu Anne. Untuk seseorang yang bekerja dengan senapan dan perkelahian seperti kita, kita bisa mati kapan saja. Apa bedanya mati dengan rokok dan peluru?" jawabnya enteng.

Keheningan menyelimuti mereka kembali. Hanya suara DJ dari kejauhan, riuh pengunjung dan gelas yang silih berganti berdenting satu sama lain. 

Kebulan asap putih menguar di udara. Aroma tembakau dan sedikit sengatan gin mengitari sekeliling mereka. 

"Kalau aku meminta bantuanmu, apa kau bersedia?" gerakan tangan Max terhenti. Pandangannya beralih ke Anne.

"What? I mean- of course. Tapi ini bukan seperti dirimu?" Anne yang Max kenal bukanlah tipikal gadis yang senang meminta tolong. 

Anne gadis yang keras kepala. Jika ia terlibat perkelahian dengan beruang, lebih baik kau tolong beruangnya. Karena Anne akan menghajar beruang itu sebelum ia tumbang.

"Something shit happend, and i need your help to get it," Max memincingkan matanya, ia masih merasa aneh. Melihat seorang Anne, seorang Consigliere kesulitan.

Hal itu kembali mengingatkan Max bagaimana ia salah menilai Anne saat mereka bertemu pertama kali.

...

San Angelo, Texas. 7 years ago.

Max bukanlah seseorang yang religius. Ia lahir dari seorang ibu yang bekerja sebagai pekerja sex dan ayah yang seorang peminum. Satu-satunya hari saat ia mengunjungi gereja hanyalah saat natal.

Ia selalu merasa aneh setiap kali melihat gereja, perasaan yang asing.

"Kenapa Dean memintaku bertemu di gereja dari seluruh tempat di sini?" desahnya. Meski begitu, ia tetap melangkahkan kakinya ke dalam.  

Gereja St. Joseph. Gereja dengan eksterior bertekstur bata dengan warna yang khas. 

Saat pintu dibuka, Max bisa melihat interior di dalamnya.

Lantai dengan ubin marmer putih, langit-langit dari kayu pohon ek. Dinding berwarna putih gading nampak mewah di bawah lampu kuning. 

Di pinggir, berjajar kursi-kursi panjang yang nampak lenggang. Hanya berisi beberapa jemaat saja yang entah apakah mereka berdoa atau mereka hanya sekedar ingin beristirahat sejenak dari pelik dunia.

Di ujungnya, ada sebuah altar lengkap dengan panggung khotbah dan patung salib besar yang indah.

Max memilih duduk di barisan kiri. Tak jauh darinya ada dua orang perempuan yang tengah berbincang.

"Jadi kau yang menjaga semuanya agar tetap pada tempatnya?" perempuan pertama tampak seperti gadis sekolah menengah. Berbicara pada perempuan bersurai pirang yang jauh lebih tua darinya.

"Well ya, mereka sangat rusuh jadi mau tak mau harus ada yang bisa mengurusnya..." Perempuan itu tertawa. Perempuan yang Max dengar memperkenalkan dirinya sebagai 'Jennifer'.

Tapi gadis muda di depannya tak bergeming. Sorot wajahnya tampak tak menyenangkan.

"Tapi kau pembohong," baik Max maupun Jennifer terkejut.

"M-Maaf?"

"Tidak ada gadis katolik yang lupa mebuat tanda salib setiap kali mereka memasuki gereja, Jennifer.." Max shock. Ia baru sadar. Gereja St. Joseph ini adalah Gereja Katolik.

"Pertama kau berbohong soal bar tempatmu bekerja dan sekarang aku tau kau seorang Protestan.." gadis itu berdiri dan merapikan coat yang ia kenakan. 

"Jangan main-main denganku, Jennifer. Aku bisa mengirimmu pada Tuhan kapan saja.." ucapnya sebelum melangkah pergi.

Langkah itu berhenti tak jauh dari Max. Saat ia menoleh, gadis itu menatapnya.

"Kau sudah mendengar semuanya. Salam kenal, aku partnermu mulai hari ini. Maximillian.."

Begitulah bagaimana ia bertemu Anne, dan jatuh cinta padanya.

...

Anne adalah partner Max selama dua tahun mereka menjalani misi di Colorado.

Setelah misi itu selesai, Anne menghilang begitu saja.

Max tak terlalu kaget, mengingat bagaimana Anne memandang Max. Hanya sebagai Partner yang usai setelah misi selesai.

"Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian di malam natal itu?" tangan Anne berhenti, Max menyadari hal sekecil itu. Ucapannya tampaknya tepat mengenai sesuatu.

"Tidak,"

"Bohong."

"Oh, lalu?"  ponsel Anne bergetar, Max bisa melihat ia menerima sebuah pesan meski ia tak tahu apa isinya.

Anne berdiri setelah menerima pesan itu. Memangil Michelle dan memintanya mengambil coat yang ia kenakan tadi.

"Cari tahu tentang mereka," Anne menyerahkan tiga lembar foto. 

Yuza, Rin, dan Maria. Nama yang tertera dibaliknya.

"Aku tidak tahu dengan gadis terakhir, tapi bukankah dua lainnya anggotamu? kenapa kau menyelidiki anggotamu sendiri?" 

"Bukan urusanmu, aku hanya butuh apa yang kuminta..." Max mengendikkan bahunya. Percuma bertanya hal yang sudah pasti tak akan dijawab oleh seorang Anne dengan mudah.

"Tapi kau tahu kalau aku tidak bekerja dengan gratis kan?" Anne diam. 

"Berapa yang kau minta? apakah 600 Miliar cukup?" Anne mengeluarkan ponselnya untuk meminta Nero menyiapkan cek untuknya.

"Aku tidak meminta uang, ada hal yang kuinginkan sejak tujuh tahun yang lalu sebagai bayarannya.." Max memutar tubuhnya, kini ia memandang Anne sepenuhnya.

"Kau tahu kalau kau mencari sesuatu tentang seseorang, ibarat seperti pintu yang menghubungkan ke pintu berikutnya.." Anne mulai tak sabaran.

"Aku paham, lalu apa yang kau minta?" Max menyeringai.

"Setiap kali aku menemukan satu informasidari satu identitas yang kau minta. You should sleep with me." 

"Kau gila? memangnya berapa banyak hal yang kau dapatkan dari satu ident-"

"Kau tahu aku adalah pilihan terbaik untuk misi ini, makanya kau meminta bantuanku, benar kan? Anne?" Anne menggigit bibirnya. Ucapannya benar. Ia tak bisa memnta tolong Nate ataupun Nero.

Ia meminta Max karena Max tak terikat dengan siapapun yang mengenalnya.

"Jadi?"

"Jika kau berhasil mendapatkan 13 informasi tentang Yuza, maka aku harus tidur denganmu sebanyak 13 kali?" ulangnya, Max mengangguk.

"Kau tahu dengan pasti bagaimana kinerjaku dan bayaranku, Anne. Penawaran ini tidak buruk bukan? Kau dapatkan informasi tanpa kehilangan sepeserpun uangmu dan aku dapat apa yang kumau.."

"So..."

"Are we deal?"





..tbc..

Komentar

  1. Akhirnya update! Oh noo, what will happen to them;_; and Anne too;_;
    Thanks for your hardwork Author~

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

THE FAMILY

THE FAMILY